KATA PENGANTAR
Puji dan syukur panjatkan
kehadirat Allah swt yang telah memberikan kenikmatannya serta kesempatan kepada
penyusun, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul PERLAWANAN
HAJI HASAN ARIF TERHADAP KOLONIAL BELANDA DI CIMAREME GARUT TAHUN 1918-1919 MASEHI. Makalah ini di susun sebagai salah satu tugas
mata kuliah Sejarah Islam Indonesia. Program
Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Siliwangi
Tasikmalaya.
Peristiwa
pemberontakan Hasan Arif dan pengikutnya sangat jarang disinggung dalam
pengajaran sejarah, khususnya di Jawa Barat. Orang-orang hanya akan mengetahul
nama itu jika berkesempatan mengunjungi Museum Mandala Wangsit Siliwangi. Di
museum tersebut terdapat beduk, jubah putih dan beberapa senjata tajam, yang
berkaitan dengan tokoh tersebut. Namun selebihnya, orang tidak banyak tahu akan
perjuangan gigih Hasan Arif.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Iyus Jayusman selaku dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Islam di
Indonesia dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan
selama penulisan makalah ini.
. Dengan segala
kerendahan hati, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis harapkan demi
perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Tasikmalaya, Mei 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Masyarakat
Garut bisa mengenang memori lama. Di sana ada
miniatur "babancong" (tempat pidato kenegaraan Soekarno), naskah kuno
tahun 1912 yang menceritakan Sejarah Singosari sampai Balubur Limbangan Garut,
serta Naskah Lontar Kabuyutuan Ciburuy, lengkap dengan Reflika Kujang, Tri
Sula, Encis, Genta, Bedog, Gunting, keris, Pedang Zulfakor, Peta Kuno dan
Bendera Ciung Wanara. Beragam foto peninggalan
Kerajaan Hindu Candi Cangkuang, Batu Lempang peninggalan budaya megalitik,
sampai situs makam 'karuhun' Garut, replika rumah-rumah adat Sunda buhun, dan
foto Bupati Garut dari masa ke masa pun turut dipampang, termasuk tokoh Garut
jaman kolonial KH. Muhammad Musa.
Akan tetapi dari sekian
banyak peninggalan sejarah di Garut tersebut, minim sekali bukti sejarah tentang kiprah Haji
Hasan Arif. Pelopor perjuangan Kemerdekaan Indonesia ini seolah dilupakan. Haji Hasan Arif ini
adalah orang yang melakukan perlawanan terhadap kebiadaban kolonial Belanda.
Masyarakat beserta santri di cimareme Garut ini melakukan
pemberontakan-pemberontakan terhadap kolonial Belanda yang dimotori oleh Haji
Hasan Arif.
Sejarah perlawanan
perjuangan Haji Hasan Arif terhadap kolonial Belanda ini merupakan perjuangan
yang terlupakan oleh kaca mata pengantar sejarah nasional indonesia tersebut.
Sehingga berangkat dari permasalahan di atas penyusun mencoba menulis makalah ini
yang berjudul PERLAWANAN HAJI HASAN ARIF TERHADAP KOLONIAL BELANDA DI CIMAREME GARUT TAHUN
1918-1919 MASEHI
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar
masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
penyebab terjadinya perlawanan Haji Hasan Arif terhadap kolonial belanda di Cimareme Garut Tahun 1918-1919 Masehi ?
2. Bagaimana
proses teradinya perlawanan Haji Hasan Arif terhadap kolonial Belanda di Cimareme Garut Tahun 1918-1919 Masehi ?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun Tujuan
Penulisan Makalah tersebut adalah :
1. Untuk
mengetahui Proses Terjadinya Perlawanan Haji
Hsan Arid terhadap Kolonial Belanda di Cimareme Garuttahun 1918-1919 Masehi
2. Untuk
mengetahui penyebab terjadinya perlawanan Haji Hasan Arif
terhadap Kolonial Belanda di Cimareme Garut tahun 1918-1919 Masehi
D.
Kegunaan
Makalah
Adapun kegunaan
penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Secara
Teoritis
Guna menambah pengetahuan dan wawasan bagi penyusun dan memperkaya ilmu
pengetahuan tentang Perlawanan Haji Hasan Arif Terhadap Kolonial Belanda di Cimareme Gatr Tahun
1918-1919 Masehi, sehingga dapat mengetahui
perlawanan Haji Hasan Arif terhadap Kebijakan Kolonial Belanda.
2. Secara
praktis
Hasil
penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi penulis sebagai wahana pengetahuan dan
bagi pembaca sebagai media informasi tentang mengetahui Pengaruh Perlawanan
Haji Hasan Arif Terhadap kolonial Belanda
E.
Prosedur
Makalah
Langkah yang dilakukan adalah
menentukan teknik penulisan sesuai tujuan dan jenis masalah yang ditulis .
prosedur penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini tentang “Perlawanan Haji Hasan Arif Terhadap Kolonial Belanda di Cimareme Gatr Tahun
1918-1919 Masehi” adalah dari data-data informasi
yang ada seperti sumber-sumber dari beberapa situs internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penyebab
Terjadinya Perlawanan Haji Hasan Arif terhadap Kolonial belanda di Cimareme
Garut Tahun 1918-1919 Masehi
Di desa Cimareme terdapat seorang terkemuka yang
dikenal dengan nama Haji Hasan Arif. Sebagai seorang
haji, Haji Hasan menempati status sosial yang tinggi didesanya. Dia adalah
putra kiyai Tubagus alpani, seorang pemimpin pesantren di Cimareme. Ibunnya
bernama Djamilah, salah seorang putri dari R. Kartaningrat yaitu pendiri
pesantren Cimareme. Menurut gelarnya, ayah haji Hasan merupakan keturunan
bangsawan dan kesultanan Banten. Ditinjau
dari status ekonomi Haji Hasan adalah orang yang kaya yang mempunyai tanah yang
cukup luas yaitu sekitar 10 bau dengan hasil utamaya padi dan tembakau. Dia
terkenal karena tenaman tembakaunya yang dikenal dengan nama “Bako Cimareme”
dan juga peternakan kuda-kudanya. Haji Hasan
dihormati orang bukan saja karena kekayaannya tetapi juga karena usianya yang
masih muda tapi sudah memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Dia menjadi guru
agama didesanya yang mempunyai pengaruh besar atas para penggarap tanah dan
murid-muridnya.
Peristiwa
Cimareme adalah suatu peristiwa pertempuran Tokoh Agama Islam yang dipimpin
oleh H. Hasan Arif Melawan Belanda di desa Cimareme Kecamatan Bayuresmi. Hal
ini terjadi karena sebagai bentuk perlawanan terhadap Pemerintahan Belanda yang
memaksa masyarakat untuk menjual hasil bumi ke pemerintah Belanda dengan harga
yang sangat murah.
Belanda mengeluarkan kebijakan
hasil bumi ini karena pada tahun 1911-1912 terjadi
kegagalan panen yang hebat dibelahan bumi bagian utara seluruh Asia, keadaan
ini berulang lagi pada tahun 1918-1919, sehingga mengakibatkan keadaan pangan
makin memburuk. Penyebab hal ini adalah karena kesulitan angkutan laut berupa
kapal yang disebabkan karena perang dunia I. Penyebab kedua adalah pada akhir
tahun 1918 terjadi masa kering yang panjang ditengah musim hujan, sehingga
mengakibatkan keterlambatan panen 1 ½ bulan. Dan penyebab ketiga, dilarangnya
ekspor beras di Asia Tenggara, sehingga Indonesia tidak bisa memperoleh beras
dari luar negeri. Padahal hasil panen Indonesia sangat buruk. Karena kondisi yang sulit diatas ini pemerintahan kolonial
Belanda sudah mulai kuatir, perasaan takut kekurangan pangan dan takut akan
timbulnya bahaya kelaparan yang semakin meluas dan merata pada semua lapisan
masyarakat.
Serta PECAHNYA
PERANG DUNIA I (1914-1918), telah menambah keparahan kondisi ekonomi dunia.
Buruknya situasi ekonomi, tidak saja dirasakan langsung oleh negana-negara
pelaku perang, tetapi juga negara lain seperti Indonesia sebagai daerah koloni
Belanda. Sejumlah referensi menyebutkan, saat itu hasil bahan mentah dari
Indonesia menumpuk dan tidak dapat diekspor. Kehidupan rakyat semakin sengsara.
Persediaan terus menipis, sëbab beras impor tidak juga datang. Seperti umumnya
daerah lain, Cimareme pun mengalami penderitaan serupa.
Kondisi masyarakat seperti itu, membuat
Hasan Arif prihatin, dan menambah keyakinannya untuk terus melawan Belanda. Di
tengah hahaya kelaparan yang melanda rakyat, pada 1918 pemerintah kolonial
Belanda menerapkan peraturan wajib jual padi. Para petani dipaksa menjual padi
kepada pemerintah sebanyak 4 pikul (6,5 kg) untuk setiap satu bahu (700 m2 atau
50 tumbak).
Pemasyarakatan wajib jual padi di Cimareme,
dilakukan lurah desa setempat, Wiraatmadja, yang rumahnya bersebelahan dengan
kediaman Hasan Arif. Menurut keterangan, hubungan keduanya memang kurang baik,
disebabkan perbedaan sikap terhadap penjajah. Dengan tegas, Hasan Arif, menolak
kewajiban jual padi. Karena akan mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit.
Meskipun bagi dia sendiri, sebetulnya hal itu tidak memberatkan. Hasan Arif
meminta agar sikapnya itu disampaikan kepada Camat Banyuresmi.
Setiap keluarga hanya di izinkan menyimpan persediaan
padi paling banyak 3 pikul. Petani yang ketahuan menyimpan padi melebihi batas
yang telah ditentukan, akan disita dan didenda 100 gulden. Para pedagang yang
memiliki persediaan beras diluar batas, juga akan disita. Untuk memperlancar
distribusi beras dilakukan peningkatan pengangkutan beras dari daerah surplus
ke daerah miskin. Untuk melaksanakan peraturan pembelian padi, pemerintah
menyediakan dana sejumlah 5000 gulden setiap kewedanaan. Dengan dikeluarkannya keputusan ini maka timbul
keresahan dikalangan petani karena penghasilan petani umumnya rendah, maka
setiap pungutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh penguasa setelah panen
gagal, besar kemungkinan akan mempunyai akibat yang gawat bagi kehidupan
petani.
Masyarakat
cimareme yang sebagian besar adalah petani menolak kebijakan pemerintahan
kolonial belanda tersebut yang dapat merugikan perekonomiannya. Pada tanggal 19
Juli 1919 masyarakat beserta santri Cimareme Garut ini yang di motori oleh Haji
Hasan Arif melakukan sebuah pemberontakan ataupun pertempuran terhadap
kebijakan pemerintah kolonial belanda tersebut.
Pertempuran
pun pecah, Belanda melakukan serangan terhadap Masyarakat Cimareme yang
melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut. Suara
gaduh memecah keheningan Kampung Cimareme Desa Sukasari Kec, Banyuresmi Kab.
Garut. Ratusan orang bersenjata merangsek masuk ke rumah-rumah warga. Menarik
ke luar lelaki yang dicurigai, menganiaya yang melawan. Sekelompok orang
kemudian berhenti di depan sebuah rumah dekat mesjid. Mereka mendobrak pintu.
Seorang lelaki tegap yang tengah salat sunat diberondong peluru dan tersungkur.
B. Proses
terjadinya Perlawanan Haji Hasan Arif terhadap Pemerintah Kolonial Belanda di
Cimareme Garut tahun 1918-1919 Masehi
Peristiwa
Cimareme yang terjadi 95 tahun lalu, sudah banyak dilupakan. Bahkan banyak
mengalami distorsi sejarah. Penulisan peristiwa ini merupakan satu upaya untuk
mengenang kembali peristiwa itu. Adapun
hal penting yang ingin dikemukakan dalam penulisan ini adalah dampak kebijakan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan protes Haji Hasan dari Kampung Cimareme, Desa
Cikendal, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut yang mempertahankan tanahnya, dari
tangan kolonial Belanda. Peristiwa ini menjadi penting, karena membawa pengaruh
besar dalam permulaan abad ke-20.
Sejak muda, H Hasan sudah sangat
disegani oleh warga sekitar. Dia mengajar ilmu agama, membekali para santrinya
dengan ilmu silat, dan sangat peduli dengan olahraga. Dia mendirikan
perkumpulan pencak silat dan sepakbola. Dia juga melek dengan politik dan
bergabung dengan perkumpulan Goena Perlaja yang dipimpin oleh Kiayi Abdullah
dari Tegalgubuk Cirebon. Saat Peraturan Pembelian Padi diberlakukan pada 17
Maret 1919, H Hasan sudah melakukan penolakan. Dasar penolakannya bukan
semata-mata faktor ekonomi, tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda.
Sikap bermusuhan itu sudah tertanam sejak dia masih kecil. Bapaknya selalu
mengajarinya untuk menjaga jarak dengan orang Belanda dan kaki tangannya.
Protes pertama Haji Hasan dilakukan saat
Wedana Leles datang ke rumah Haji
Hasan bersama Lurah Cikendal. Saat itu, kedua pejabat pemerintah kolonial ini
ingin membayar uang muka pembelian padi milik Haji Hasan sebanyak 40 pikul. Tetapi uang
itu ditolak, karena Haji
Hasan hanya bersedia menjual padinya kepada pemerintah sebanyak 10 pikul. Keberanian Haji Hasan menolak uang dari pejabat
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dibalas dengan sikap arogan. Wedana Leles
yang emosi mengancam akan mendatangkan pejabat pemerintah dan pasukan
bersenjata lengkap untuk menyita sawah Haji
Hasan.
Setelah kedua orang itu pulang, keesokan
harinya Haji
Hasan mengirimkan surat kepada Wedana Leles dan menanyakan kebijakan pemerintah
membeli 40 pikul padi miliknya, dan rencana mendatangkan pejabat pemerintah dan
serdadu bersenjata untuk menyita seluruh tanah miliknya. Namun surat itu tidak
pernah dibalas. Bahkan setelah dia mengirim utusan ke Wedana Leles.
Klimak kedua perlawanan Haji Hasan adalah saat juru
tulis pemerintah kolonial mengabarkan bahkan Haji Hasan tidak menjual padinya di
tempat-tempat yang telah ditentukan, serta adanya orang-orang berpakaian putih
bersenjata tajam. Sebagai balasan atas
sikap Haji Hasan, pada 4 Juli 1919,
asisten wedana memerintahkan pejabat sekitar dengan membawa tentara Belanda
bersenjata lengkap untuk menangkap Haji
Hasan. Di waktu yang sama, Haji
Hasan kembali mengirimkan surat dengan pertanyaan yang sama kepada asisten
residen. Isi surat sama dengan yang pertama, terkait rencana penyitaan tanah
miliknya. Kabar akan ditangkapnya Haji Hasan membuat gempar
Garut. Banyak pendukung SI Afdeling B yang merencanakan pemberontakan dan warga
yang bersimpati dengan protes Haji
Hasan, ikut datang ke rumah Haji
Hasan. Jumlah mereka mencapai ribuan.
Banyaknya para pendukung Haji Hasan ini membuat
penangkapan tanggal 4 Juli 1919 itu ditunda. Akhirnya, untuk pertama kalinya, Haji Hasan mengetahui
setelah berunding dengan asisten wedana bahwa semua permintaannya dalam surat
pertama dan kedua tidak dikabulkan. Dari situ, Haji Hasan terus menggalang dukungan di
lingkungan keluarganya untuk perang sabil.
Pada hari Sabtu 6 Juli 1919, sekitar jam 12.30 WIB, sebanyak 40 orang
infantri di bawah pimpinan Mayor Van Der Bie dan Letnan Hillen berangkat ke
Garut. Mereka hendak melakukan penangkapan terhadap Haji Hasan. Pasukan
bersenjata dari Tasikmalaya yang berjumlah 30 orang di bawah pimpinan Komandan
Raes juga ikut diterjunkan.
Sehari kemudian, Senin 7 Juli 1919,
rombongan bersenjata ini berangkat ke Cimareme. Di antara rombongan itu ikut
hadir Patih Garut, Wedana Bangbulang, Wedana Tarogong, Kepala Penghulu Garut,
Wakil Kepala Penghulu Garut, penasihat agama Garut, Camat Kadungkora, dan Camat
Nangkaruka. Para pejabat kolonial ini membawa serta agen polisi
bersenjata. Setelah sampai di rumah Haji Hasan, Patih
memerintahkan agar dia segera keluar. Tidak lama kemudian, Haji Hasan keluar
dengan diikuti Haji
Gadjali dan 13 orang pengikutnya. Jumlah mereka mencapai 40 orang, semuanya
laki-laki dan berpakaian serba putih dengan senjata dipinggang, seperti kapak,
keris dan kelewang.
Kemudian mereka duduk di tanah, dan
Patih berbicara dengan ramah meminta agar Haji
Hasan ikut ke Garut, agar masalahnya dapat diurus dengan baik. Akan tetapi Haji Hasan menolak ajakan
itu dengan tenang. Dia sudah tahu akal bulus Belanda. Kepada Patih, dia mengatakan dengan pelan,
bahwa dia dan pengikutnya tidak akan tunduk pada perintah Belanda, karena
Wedana Leles sebelumnya pernah mengatakan akan mengepung rumahnya dengan
serdadu bersenjata lengkap dan akan menyita tanah pertanian keluarganya,
kemudian menangkapnya. Keterangan Haji
Hasan ini didengar banyak warga yang hadir saat itu.
Kerumuman warga yang berkumpul di
sekitar rumah Haji
Hasan, semakin banyak. Suasana menjadi sangat tegang. Saat negosiasi antara
pejabat kolonial dengan Haji
Hasan tidak menemukan kesepakatan, Haji
Hasan dan pengikutnya masuk ke dalam rumah.
Namun, saat Haji
Hasan masuk, pengikutnya yang bernama Haji
Gadjali ditarik seorang opas. Serentak, Haji
Hasan dan pengikutnya yang berada di dalam langsung menutup pintu dan jendela
rapat-rapat. Mereka kemudian menggelar zikir. Suaranya zikirnya semakin keras,
bahkan saat bupati meminta Haji
Hasan segera keluar. Setelah berkali-kali meminta tidak didengar, serdadu
bergerak. Setelah
satu jam menunggu, tiba-tiba Haji
Hasan keluar, namun bukan untuk menyerahkan diri, tetapi memaki para pejabat
pemerintah kolonial, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Sekali lagi, Haji Gadjali diperintahkan
oleh Bupati untuk masuk kedalam rumah, namun malah tidak keluar lagi. Bahkan
semua pintu dan jendela dikunci dari dalam.
Di dalam rumah mereka terus berzikir. Karena diplomasi berjalan buntu,
akhirnya tentara Belanda menembakkan salvonya ke atas rumah. Tetapi suara zikir
semakin kencang. Kemudian salvo diarahkan ke genting. Lalu terakhir ke pintu
dan jendela.
Setelah tembakan ketiga, orang-orang
yang berada di dalam rumah berhenti berzikir. Suasana tiba-tiba menjadi hening.
Kemudian, terdengar ratap tangis wanita dan anak-anak. Pintu rumah lalu dibuka
paksa, dan Haji
Hasan ditemukan tewas bersimbah darah. Kepalanya yang diikat dengan jimat,
tertembus peluru. Begitu juga dengan beberapa pengikutnya tewas. Untuk menunjukkan kepada seluruh warga yang
menyaksikan kejadian itu, maka semua korban yang tewas dipenggal kepalanya. Hal
ini sebagai
peringatan bagi yang melawan pemerintah kolonial.
Jasad Hasan Arif telah berbaring tenang
di Pasir Astana Gabus, sekitar 1 km di selatan Kampung Cimareme. Di kompleks
berukuran 8 x 8 meter itu bersemayam pula delapan jasad lainnya. Antara lain
Atmaka dan isterinya, Eha yang tidak lain puteri Hasan Ari
Seorang Pimpinan Pusat Pusat Lekra yang
Sugiarti Siswadi dalam Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora Api 26 menggambarkan
dengan sangat dramatis peristiwa pembunuhan Haji Hasan dan anggota keluarganya dalam
bentuk puisi. Berikut puisi Sugiarti:
Darah
siapakah yang menggenang merah
Membasahi bumi Priangan?
Ah, itulah darah H. Hasan
Dipotong, seanak bininya
Konon, apakah H. Hasan seorang perampok?
Ah H. Hasan hanya mempertahankan sejengkal tanah
Beberapa pikul padi dan bakul beras, mempertahankan anak bininya
Tetapi lehernya dipenggal, sekeluarga menemui ajal,
Dan darah menggenang merah,
Dan si perampok berkulit putih, mengamangkan goloknya,
Ditengah perjalanan sejarah
Ia haus darah, haus darah…
Maka dapat dari untaian sejarah
di atas, kita dapat mengetahui secara garis besar kronologi atau runtutan waktu
proses tejadinya perlawanan Haji Hasan Arif di Cimareme Garut terhadap
kebijakan kolonial Belanda sebagai berikut :
1.
17 Maret 1919 Pertemuan untuk membahas masalah bahan makanan dihelat di Bandung.
Dihadiri oleh Direktur Pertanian, S. Mulder, dan juga Residen, Pejabat
Pemerintah, para Insinyur, para ahli pertanian, serta Komisi Persediaan
Makanan, pertemuan ini membahas kebijakan pemerintah untuk mengatasi kekurangan
beras dan mencegah bahaya kelaparan. Hasil pertemuan itu memutuskan untuk
melakukan pembelian padi dari petani.
2. 26 Maret 1919 Residen Priangan mengirim surat
kepada semua Asisten Residen mengenai peraturan pelaksanaan pembelian padi dari
petani di daerah masing-masing.
3. 24 April 1919 H. Hasan, yang geram dengan
ketetapan pembelian padi, mengirimkan surat permohonan kepada Asisten Residen
yang isinya adalah agar mempertimbangkan kembali ketetapan menjual padi.
4. 10 Mei 1919 Usul pengurangan penjualan padi
itu baru disampaikan kepada Asisten Residen oleh Bupati dalam rapat daerah
kabupaten Garut, tetapi Asisten Residen tetap menolak permintaan H. Hasan
tersebut.
5. 18-20 Juni 1919 Wedana mendengar dari juru
tulisnya bahwa H. Hasan menolak untuk menyetorkan jumlah padi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
6. 24 Juni 1919 H. Rasadi dan H. Kadir memberi
tahu Wedana bahwa H. Hasan telah mengumpulkan anak-anaknya untuk bertempur
melawan siapa saja yang akan mengambil padinya.
7. 25 Juni 1919 Terbit sebuah surat kepada
bupati Garut yang isinya menerangkan bahwa H. Hasan tetap tidak bersedia
menjual padinya sesuai dengan ketetapan pemerintah dan sedang mempersiapkan
diri untuk melawan Negara dengan bermacam senjata dan pakaian putih.
8. 2 Juli 1919, Bupati mengirimkan surat kepada
Asisten Residen yang menyatakan bahwa H. Hasan telah berbuat kurang ajar dan
harus ditindak dengan kekerasan.
9. 3 Juli 1919 Asisten Residen mengeluarkan
keputusan untuk menangkap H. Hasan dan memerintahkan untuk meminta bantuan
polisi bersenjata dari Tasikmalaya.
10. 4 Juli 1919 H. Hasan kembali mengirimkan
surat kepada Asisten Residen yang isinya hampir sama dengan suratnya yang
pertama dan menyatakan rasa hormat dan ketakutannya kepada pejabat pemerintah,
termasuk Wedana Leles dan Lurah Cikendal. Namun dibalik ketakutannya itu
rupanya H. Hasan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemerintah.
11. 6 Juli 1919 sekitar jam 12.30, empat puluh
orang infantry dibawah pimpinan Mayor Van Der Bie dan Letnan Hillen berangkat
ke Garut, untuk memperkuat pasukan pemerintah dalam penangkapan H. Hasan.
12. 7 Juli 1919 berangkatlah pasukan penangkapan
H. Hasan ke Cimareme. Setibanya pasukan itu di Cimareme, H. Hasan tetap menolak
ditangkap. Sejumlah tembakan peringatan tidak digubris H. Hasan. Para pengikut
dan keluarganya berzikir dengan keras. Hingga akhirnya pasukan penangkapan mengarahkan
senjata api ke rumahnya dan menembaki rumah H. Hasan. H. Hasan meninggal
bersama keluarganya dan jenazahnya dibawa ke Garut kota dengan menggunakan
kereta.
BAB
III
Simpulan
dan Saran
A.
Simpulan
Berdasarkan
uraian bab sebelumnya, penulis akan memberikan simpulan sebagai berikut :
1.
Penyebab Terjadinya
Perlawanan Haji Hasan Arif terhadap Kolonial belanda di Cimareme Garut Tahun 1918-1919 Masehi
Haji Hasan Arif adalah seorang tokoh agama yang terkemuka
dan orang yang berada di Cimareme Garut, ia sangat antipati terhadap kolonial
Belanda. Walaupun masih muda,Haji Hasan Arif sangat berperngaruh baik dari
masyarakat Cimareme maupun oleh Pihak kolonial Belanda. Penyebab terjadinya
perlawanan Haji Hasan Arif ini yaitu karena Kebijakan Kolonial Belanda mengenai
hasil bumi yang menyatakan bahwa semua hasil panen masyarakat harus di jual ke
Belanda dengan harga yang murah dan kalau tidak menjualnya akan kena sanskinya
oleh kolonial belanda. Sehingga dari sanalah perlawanan terjadi oleh masyarakat
cimareme Garut yang di motori Haji Hasan Arif ini.
2.
Proses Terjadinya
Perlawanan Haji Hasan Arif terhadap Kolonial belanda di Cimareme Garut Tahun 1918-1919 Masehi
Kebijakan yang dilakukan oleh belanda akan hasil bumi ini
menyebabkan pertentangan dari Haji Hasan Arif sehingga timbullah pertempuran
disana. Sebelumnya Haji Hasan Arif mengirimkan surat permohonan kepada Asisten Residen
yang isinya adalah agar mempertimbangkan kembali ketetapan menjual padi. Tetapi
permohonan-permohonan Haji Hasan Arif di tolak. Akhirnya Haji Hasan beserta
pengikutnya melakukan perlawanan. Pada tanggal 7 Juli 1919 berangkatlah
pasukan penangkapan H. Hasan ke Cimareme. H. Hasan tetap menolak ditangkap.
pasukan penangkapan mengarahkan senjata api ke rumahnya dan menembaki rumah H.
Hasan. H. Hasan meninggal bersama keluarganya dan jenazahnya dibawa ke Garut
kota dengan menggunakan kereta.
B.
SARAN
Sejalan dengan pembahasan diatas, penyusun
merumuskan saran yaitu kita hendaknya lebih mengetahui lagi bagaimana
sejarah lokal indonesia terjadi. Dengan
mencari sumber-sumber sejarah yang ada. Karena seperti yang kita ketahui kita
lebih mengetahui sejarah umum daripada mengetahu sejarah lokal disekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Siapakah nama Wedana Leles saat itu?
ReplyDelete