Ideologi tradisional dapat kita samakan dengan ideologi negara kerajaan seperti zaman Sriwijaya, Majapahit, Bali, ataupun Surakarta Hadiringrat. Sebagai contoh Puputan Klungkung yang terjadi 28 April 1908 silam merupakan babak akhir dari proses penetrasi kolonialisme Belanda di tanah Bali. Menurut Wiarawan, Puputan Klungkung salah satu bentuk perlawanan rakyat Bali menentang Kolonialisme Belanda.
Dalam Ideologi Tradisional terdapat hubungan patron-client yang menempatkan seorang pemimpin sebagai patron dan rakyat sebagai client. Hubungan patron-client yang berdasarkan ideologi tradisional biasanya bersifat konservatif dan loyal. Seperti halnya yang terjadi di dalam masyarakat dengan ideologi tradisional, pertikaian "sepele" tanpa sebab mendalam dan hanya karena loyalitas pada golongan dapat merusak segala-galannya. Ini bisa menyebabkan kerusakan kemakmuran, juga pada stabilitas masyarakat. Pada masyarakat modern, hingga kini pertentangan terus terjadi sehingga menyebabkan masyarakat kehilangan revolusi.
Lebih parah lagi, kalau kita kehilangan pembangunan dan kemakmuran karena itu akhir-akhir ini, imbauan ideologis pemerintah lebih banyak menekankan segi xenofobia atau ancaman bahaya asing terhadap nilai-nilai ideologi yang terlalu menekankan loyalitas pada "negara" dan kemurnian nilai-nilai tradisional yang justru dapat menumbuhkan solidaritas primordial. Ini bisa membuat masyarakat saling bermusuhan tanpa sebab.
Hal yang sama terjadi pada masyarakat feodal dan tradisional di Abad Pertengahan. Ada banyak contoh, baik yang termuat dari sejarah maupun kesusastraan. Karya sastra
Serat Kalatida karya Ranggawarsita (1802-1874), sebuah puisi yang mengandung protes sosial, terlalu bersifat moral daripada sosial sehingga keterjepitan orang jawa dalam dunia yang tidak dapat diubah dan tidak dapat dihindarkan itu tidak membuahkan perbuatan. "Zaman Edan" tidak dilemparkannya pada para pejabat; pujangga itu hanya mengingatkan "
Supaya eling dan
waspada". Tentulah Ranggawarsita menyaksikan sendiri mundurnya sistem
"apanage" dan
"komersialisasi" tanah-tanah pertanian di Kasuanan dan Mangkunegaran akibat masuknya kapitalisme di tanah Jawa.
Dalam sejarah Orde Baru dinyatakan bahwa kepemimpinan yang bersemangatkan Pancasila haruslah
ing ngarso sung tuladha, harus menjadi teladan sehingga orang-orang akan mengikutinya dengan penuh keyakinan;
ing madya mangun karso, berada ditengah-tengah merangsah kehendak dan daya cipta mereka sendiri; sementara
Tut Wuri Handayani membantu mendorong mengembangkan prakarsa dan tanggung jawab. Dengan demikian, Seorang pemimpin haruslah memiliki kualitas sebagai seorang pelindung atau pengasuh yang merangsang, memimpin, dan membimbing asuhannya. Maka seorang pemimpin yang Pancasialis haruslah menyamakan diri dengan seorang ayah yang ideal. Pola kepemimpinan ini bersumber dari ajaran Ki Hajar Dewantara, pendrian perguruan Taman Siswa dengan sistem among.
Ayah, dalam konteks ini adalah negara, berkewajiban melindungi dan membimbing. Masyarakat/penduduk tunduk dan ikut. Untuk menanamkan sikap yang penting, negara harus seperti ayah yang baik, haruslah mengajak masyarakat/penduduknya sehingga orang-orang itu menjadi dewasa penuh, anggota keluarga bangsa yang dihormati, manusia Pancasila yang sejati.
Pertanyaan yang tertinggal adalah apakah mungkin menerapkan model dan ideologi keluarga terhadap negara ?. Lembaga keluarga adalah sekelompok komunitas yang bersifat moral dan yang berakar pada kodrat alam. Dengan demikian, anggota-anggota sekeluarga juga memiliki kewajiban untuk meneruskan kehidupannya. Mereka harus berketurunan. Lembaga keluarga hidup dalam hidup dan orang tua memiliki wakil hidup itu. Dengan demikian, mereka mendudukan suatu posisi yang "religius"; mereka bisa merestui dan mengualati.Akar-akar yang alamiah yang religius itu mengabsahkan lembaga keluarga sebagai suatu hierarki yang bersifat moral.
Beberapa raja jawa dulu berhasil mengabsahkan kerajaan mereka dalam mata orang-orang awam. Paling tidak, penerimaan atas ideologi hegemoni ini pada zaman dahulu tidak membuat kita buta terhadap kemungkinan yang sangat nyata bahwa lingkaran dalam kehidupan dengan anggota keluarga, kawan, dan mungkin termasuk orang tua dipahami sebagai satu-satunya sumber moral. Bentuk kepemimpinan politis yang "parternalistik" otoriter sesuai dengan cara sebuah masyarakat dipandang dan dialami oleh kebanyakan orang jawa.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "IDEOLOGI TRADISIONAL"
Post a Comment