|
http://bdm.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/Omar.jpg (diakses pada tanggal 1 Juli 2015, pukul 5:38 WIB) |
A. Pengangkatan Umar bin Khattab sebagai Khalifah
Umar adalah Khalifah kedua dalam sejarah Islam. Pengangkatan Umar menjadi seorang khalifah bukan berdasarkan kemaun, kedudukan jabatan, konsensus tetapi pengangkatan Umar bin Khattab menjadi seorang khalifah kedua setelah Abu Bakar, berdasarkan wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Disaat Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, Abu Bakar bermusyawarah memanggil beberapa orang sahabat besar untuk dimintai pendapatnya tentang rencana penunjukan khalifah yang akan menggantikannya. Umar merupakan calon tunggal Abu Bakar dan para sahabat dapat menyetujui pilihan Abu Bakar. Pengangkatan Umar menjadi Khalifah kedua ini dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima oleh masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya sebagai khalifah Rasululloh (pengganti dari Rasululloh). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-mu’minin (petinggi orang – orang yang beriman).
Demikianlah tercatat dalam sejarah, pada tahun 13 H/634 M Umar dibaiat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar. Dialah khalifah pertama dan satu-satunya yang mendapat gelar Amirul Mukminin (Panglima Orang-Orang Beriman). Dalam hal tersebut tidak menimbulkan pertentangan yang sangat berarti di kalangan umat Islam pada waktu itu, karena umat muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang terdekat dan paling setia membela ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Hanya segelintir kaum yang kelak akan menjadi golongan Syia’h, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang menjadi Khalifah.
Proses terpilihnya Umar bin Khattab sebagai Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq ini memang penuh dengan intrik politik, apalagi bagi kaum Syia’h yang secara nyata menentang Khalifah yang tiga yaitu (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan) karena menurut mereka yang berhak menjadi khalifah Rasululloh adalah Ali bin Abi Thalib. Menurut pemahaman Syia’h, Nabi Muhammad Saw telah menyiapkan kekhalifahan untuk Ali bin Abi Thalib, karena beliau adalah pilihan yang paling mengerti hakikat Islam daripada individu yang lain.
Sebenarnya, akar penyebab timbulnya konflik ini mulai terlihat sejak Nabi Muhammad Saw berdakwah. Kabilah-kabilah suku Quraisy telah berjuang untuk menghalang-halangi munculnya kenabian dari bani Hasyim. Mereka melakukan penerangan bukan karena membenci Islam dan kecintaan mereka terhadap berhala, melainkan suku Quraisy ini tidak ingin sistem perpolitikan mereka pada saat itu dibangun atas dasar pembagian kekuasaan berubah dengan datangnya Islam. Menurut suku Quraisy, Islam selalu menghancurkan segala jenis sistem yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Suku Quraisy juga tidak ingin bani Hasyim menjadi kabilah yang istimewa.
Oleh karena itu kabilah-kabilah Quraisy melakukan boikot kepada bani Hasyim dan melakukan makar untuk membunuh Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, rencana tersebut selalu gagal. Bahkan sebaliknya, satu persatu Kabilah Quraisy masuk Islam dan mengakui kenabian pun diakui sebagai hak yang hanya untuk bani Hasyim. Sebagai tindak lanjut dari kenabian, Nabi Muhammad Saw telah menyiapkan Ali bin Abi Thalib sebagai gantinya.
Secara Ijma’, suku Quraisy dapat menerima bahwa kenabian berasal dari bani Hasyim karena dianggap sebagai takdir yang tidak dapat dicegah keberadaannya. Akan tetapi, suku Quraisy juga ingin meneruskan sistem politik warisan leluhurnya tersebut, sehingga mereka menempuh langkah untuk memisahkan kenabian dan kekhalfahan dari bani Hasyim. Akan tetapi, cita-cita Suku Quraisy itu menemui jalan buntu selama Rasululloh Saw masih hidup. Oleh karena itu, mereka menanti saat yang tepat pada detik-detik akhir hayat Rasulullah Saw.
Permasalahan ini tidak hanya sampai disana saja, tetapi lebih meluas pada persoalan kekhalifahan Umar bin Khattab. Para pengikut Syia’h menyatakan telah terjadi konspirasi terselubung dan kerja sama antara Umar bin Khattab dengan orang-orang Quraisy. Umar bin Khattab telah bersepakat bersama orang Quraisy dengan membuat pernyataan bahwa “tidak patut kenabian dan kekhalifahan pada orang-orang bani Hasyim”. Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan Rasulullah Saw untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya harus dijegal. Alasan ini memang logis karena Ali bin Abi Thalib memiliki cacat di mata kabilah-kabilah Quraisy. Ali bin Abi Thalib lah yang membunuh pemuka-pemuka musyrikin Quraisy, dialah pembunuh pada pemimpin bani Ummayah pada Perang Badar. Ali bin abi Thalib yang selalu melindungi Rasulullah Saw dari serangan kaum kafir Arab dengan pedang dan panahnya. Dari pernyataan tersebut. Jadi, wajar jika bangsa Quraisy begitu membenci Ali bin Abi Thalib.
Abu Bakar Ash-Shiddiq menegur orang-orang Quraisy karena berupaya untuk mereduksi wibawa moral khalifah ke salah satu kekuasaan politik dan ekonomi serta martabat kesukuan. Abu Bakar Ash-Shiddiq yakin bahwa Umar bin Khattab adalah orang yang terbaik untuk membendung bahaya ini dan memelihara umat dijalan yang benar, akan tetapi untuk menepis segala keraguan yang berkembang di masyarakat, dengan tegas Abu Bakar menyatakan, “Demi Allah, penunjukan itu bukan tanpa pemikiran yang sungguh-sungguh dan bukan pula aku menunjuk lingkungan keluargaku. Aku menunjukan penggantiku itu Umar bin Khattab sudilah menerima dan mematuhinya”. Kaum muslim yang mendengarnya langsung menjawab, “ kami dengar dan kami patuhi”. Dan akhirnya Umar bin Khattab dibaiat dan terpilihlah menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Berdasarkan peristiwa di atas, bisa dicermati bahwa sekalipun terjadi intrik politik yang begitu kental menjelang detik-detik turunnya kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, semuanya bisa diatasi dengan bijak dan arif serta tidak ada pertumpahan darah. Sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap konsekuensi politik yang akan terjadi perlu dicontoh. Abu bakar tidak otoriter dalam menentukan kebijakannya. Semua diserahkan kepada forum musyawarah. Hal ini mencerminkan bahwa sistem demokrasi telah tumbuh meskipun masih belum sepenuhnya utuh.
Wajah Umar bin Khattab terlihat murung. Ekspresinya menggambarkan seseorang yang terkena musibah dan menanggung beban amat berat. Hari itu adalah hari pengangkatnnya sebagai khalifah,menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah wafat. Tidak terlihat wajah kegembiraan terkait terpilihnya dia sebagai khalifah. Itu terlihat dari pidatonya.
“Hai umat Muhammad! Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terikat bagi kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan”
Tidak ada yang lebih membebani pikiran Umar selain bagaimana melaksanakan amanah kepemimpinan ini dan mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah kelak. Suatu pemandang yang tak biasa kita lihat bahwa ada seseorang yang terpilih menjadi penguasa, namun merasa ketakutan dan bersedih. Kondisi sebaliknya justru yang sering kita lihat sekarang ini. seseorang yang terpilih menjadi penguasa terlihat sangat senang dan merasa bersyukur atas keterpilihannya.
Sesungguhnya amanah kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat berat. “sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad). Tanggung jawab seorang pimpinan terhadap rakyatnya adalah menjamin semua urusan individu rakyatnya terpelihara dengan baik. Umar bin khattab sangat khawatir jika sampai ada keledai yang terjatuh di jalanan akibat jalan yang berlubang. Karena itu ia segera memperbaikinya.
Pengangkatan umar ini diterima dengan baik oleh semua umat Islam ketika itu, meskipun sebagian ada yang keberatan dengan sikap keras Umar. Menurut Syibli, Umar meletakkan dasar-dasar suatu Negara demokrasi, dan walaupun disebabkan oleh kondisi-kondisi khas zaman itu. Prinsip tersebut tidak dapat dikembangakan dalam semua aspek dan implikasinya, syarat-syarat yang esensial bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis telah dilahirkan, yang paling Vital dan fundamental dari semuanya adalah pembentukan majelis permusyawaratan.
Ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah kedua, dia memulai pidato politiknya yang pertama diatas mimbar. Ath-Thabari mengkisahkan bahwa Umar bin Khattab dalam pidatonya yang pertama mengatakan “bangsa Arab bagaikan unta yang ditarik hidungnya, dia suka dibawa ke mana-mana maka hendaklah orang yang akan membawanya itu benar-benar mengetahui ke mana akan dibawa. Demi tuhan kabah, unta itu saya akan bawa menurut jalan”
Berdasarkan konteks pidato pertama umar bin Khttab tersebut mengandung pesan bahwa syarat pemimpin harus berilmu dan professional. Rakyat diibaratkan unta yang selalu ikut majikannya, maka majikan tersebutlah yang harus mengendalikannya agar tidak salah arah. Pemimpin yang tidak bisa mengerahkan rakyatnya ke arah yang benar akan menimbulkan desintegrasi bangsa dan hilangnya kepercayaan terhadap pemimpin. Umar bin Khattab bisa membuktikannya.
Selama menjabat khalifah (sepuluh tahun enam bulan), Umar bin Khattab banyak melakukan ijtihad atau terobosan serta langkah konkret tidak lain adalah untuk dan demi memajukan umat, menyejahterakan rakyatnya, menegakkan keadilan, penegakan hukum, pendidikan, ekonomi, politik, serta peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan rakyatnya. Kepedulian terhadap rakyat tidak dapat diragukan lagi. Bahkan terhadap rakyat yang beragama Kristen maupun Yahudi sekalipun. Bagi orang miskin yang beragama Kristen dan Yahudi, Umar bin Khattab memberikan gaji terhadap mereka. Tidak jarang Umar bin Khattab menyamar jadi rakyat biasa untuk mendekati sekaligus memberikan solusi terhadap rakyat yang sedang kelaparan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.H. Sulasman M.Hum dan Suparman M.Ag. (2013). Sejarah Islam di Asia & Eropa. Bandung: Pustaka Setia
DR.Samih Athif az-Zain. (1988). Syari’at Islam. Bandung : Husaini
Muslim Mufti,M.Si, M.A.(2013). Teori-Teori Politik.Bandung: CV Pustaka Setia
Titin Supartinah S.Pdi. (2014). Detik-detik Terakhir Kehidupan 4 Sahabat Rasulullah SAW. Tangerang: La Tah zan
Yatim, Dr. Badri dan H.A Hfiz Anshari Az. (1993). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press.
sangat membantu :)
ReplyDeletemakasih,. hehe
ReplyDelete